Sabtu, 10 Disember 2011

MELETAKKAN AKAL PADA TEMPATNYA


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logiknya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan dengan logiknya, maka logik lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah meletakkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja?  Ataukah kita mesti meletakkannya pada tempatnya?

Sebelum Melangkah Lebih Jauh, Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi  secara lahir dan batin.

Allah Ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. At Taghabun: 12)

Az Zuhri –rahimahullah- mengatakan,
مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ
“Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A, kyai B, ustadz C atau pun logiknya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimananya. ” (Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25)

Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur’an dengan Akal;

Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang boleh memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh kerana itu, akal yang baik saja yang boleh mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah solat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh kerana itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,


أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24)


أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)


وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)


وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)

Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logik)
Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang digunakan dalam Al Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala mengenai penetapan tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,


هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah.” (QS. Luqman: 11). Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta.
Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman,


وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
“Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)

Penyegeraan Akal dalam Syari’at Islam;

Syari’at Islam memberikan nilai dan penyegeraan yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.

[Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.


وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)

[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.

[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).
Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ   الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Akal Tidak Boleh Berdiri Sendiri;

Walaupun akal boleh digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah boleh berdiri sendiri. Bahkan akal sangat memerlukan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata boleh melihat benda dengan jelas.

Jadi itulah akal. Akal barulah boleh berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah boleh berdiri sendiri. Akal boleh berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata boleh berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan boleh melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)

Intinya, akal boleh berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Solat Sunat Tahajjud Yang Betul Dan Lengkap

Solat Sunat Tahajjud Yang Betul Dan Lengkap Solat Sunat Tahajjud adalah solat malam yang dilaksanakan setelah bangun tidur, afdalnya dibua...